BAB
IV
PAJAK PENGHASILAN
Bagian
1 : Pajak Penghasilan Umum
Pendahuluan
Undang
Undang No. 7 Tahun 1984 tentang Pajak Penghasilan (PPh) yang berlaku sejak 1
Januari 1984 telah diubah dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 1997 dan telah berubah
berikutnya menjadi Undang Undang No. 17 Tahun 2000 mulai berlaku 1 Januari 2001
dan terakhir menjadi Undang Undang No. 36 Tahun 2008 mulai berlaku 1 Januari
2009. Dalam Undang Undang tersebut berisi tentang:
Subjek
Pajak dan Wajib Pajak
Pajak Penghasilan dikenakan terhadap subjek pajak atas
penghasilan yang diterima atau diperoleh selama tahun pajak Adapun yang menjadi
subjek pajak adalah:
1.
Orang pribadi;
2.
Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak;
3.
Badan; dan
4. Bentuk Usaha Tetap
(BUT).
Subjek
Pajak dibedakan menjadi :
1. Subjek
Pajak Dalan Negeri
a. Subjek
Pajak orang pribadi
·
Orang Paribadi yang bertempat tinggal di
Indonesia lebih dari 183 hari (tidak harus berturu-turut) dalam jangka waktu 1
tahun, atau
·
Orang pribadi yang dalam satu tahun
pajak berada di Indonesia dan berniat tinggal di Indonesia
b. Subjek
Pajak Badan
Badan yang didirikan atau bertempat
kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu dari badan Pemerintah dengan
criteria tertentu.
c. Subjek
Pajak Warisan, yaitu :
Warisan yang belum dibagi sebagai satu
kesatuan, menggantikan yanh berhak.
2. Subjek
Pajak Luar Negeri
a. Orang
Pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di
Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan yang
tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang menjalankan
usaha melalui bentuk usaha tetap di Indonesia, dan
b. Orang
pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di
Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan yang
tidak didirkan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang dapat menerima
atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha tetap
di Indonesia.
Subjek
pajak orang pribadi dalam negeri menjadi Wajib Pajak apabila telah menerima
atau memperoleh panghasilan yang besarnya melebihi Penghasilan Tidak Kena
Pajak. Subjek pajak badan dalam negeri menjadi Wajib Pajak sejak saat didirikan
di Indonesia. Subjek pajak luar negeri baik pribadi maupun badan sekaligus
menjadi Wajib Pajak karena menerima penghasilan yang bersumber dari Indonesia
melalui Badan Usaha Tetap di Indonesia. Wajib pajak adalah orang atau badan
yang telah memenuhi kewajiban subjektif dan objektif.
Kewajiban
Pajak Subjektif
a. Subjek
pajak dalam negeri yakni:
1. Orang
Pribadi dimulai saat dilahirkan, berada atau berniat tinggal di Indonesia, dan
berakhir saat meninggal dunia atau meninggalkan Indonesia.
2. Badan
dimulai saat didirikan atau berkedudukan di Indonesia dan berakhir saat
dibubarkan atau tidak lagi berkedudukan di Indonesia.
b. Subjek
pajak luar negeri yakni:
1. Non-BUT
dimulai saat mempunyai penghasilan di Indonesaia dan berakhir saat tidak lagi
mempunyai penghasilan dari Indonesia.
2. BUT
dimulai saat melakukan usaha.kegiatan melalui BUT di Indonesia dan berakhir
saat tidak lagi menjalankan usaha/kegiatan di Indonesia.
c. Warisan
belum terbagi dimulai saat timbulnya warisan dan berakhir saat warisan selesai
dibagi.
Tidak Termasuk Subjek
Pajak
Yang tidak termasuk
subjek pajak adalah:
1. kantor
perwakilan negara asing
2. Pejabat-pejabat
perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari negara asing
dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan
bertempat tinggal bersamasama mereka dengan syarat bukan warga negara Indonesia
dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan di luar jabatan
atau pekerjaannya tersebut serta negara bersangkutan memberikan perlakuan
timbal balik;
3. organisasi-organisasi
internasional dengan syarat:
a. Indonesia
menjadi anggota organisasi tersebut; dan
b. tidak
menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari
Indonesia selain memberikan pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal
dari iuran para anggota;
4. pejabat-pejabat
perwakilan organisasi internasional sebagaimana dimaksud pada huruf c, dengan
syarat bukan warga negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha, kegiatan, atau
pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.
Objek Pajak
Dalam
Pasal 4 ayat 1 UU No.36 Tahun 2008 dinyatakan bahwa yang menjadi objek pajak
adalah penghasilan, yaitu
setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak,
baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai
untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib pajak yang bersangkutan,
dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk:
1.
penggantian atau imbalan berkenaan
dengan pekerjaan atau jasa yang diterima termasuk gaji, upah, tunjangan,
honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk
lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini;
2.
hadiah dari undian atau pekerjaan atau
kegiatan, dan penghargaan;
3.
laba usaha;
4.
keuntungan karena penjualan atau karena
pengalihan harta termasuk:
a. keuntungan
karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lain sebagai
pengganti saham atau penyertaan modal
b. keuntungan
karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota yang
diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya;
c. keuntungan
karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan,
pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan dalam bentuk apa pun;
d. keuntungan
karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau sumbangan, kecuali yang
diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat dan
badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi,
atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada
hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara
pihak-pihak yang bersangkutan; dan
e. keuntungan
karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan, tanda
turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam perusahaan pertambangan;
5.
Penerimaan kembali pembayaran pajak yang
telah dibebankan sebagai biaya dan pembayaran tambahan pengembalian pajak;
6.
Bunga termasuk premium, diskonto, dan
imbalan karena jaminan pengembalian utang;
7.
Dividen, dengan nama dan dalam bentuk
apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan
pembagian sisa hasil usaha koperasi;
8.
Royalti atau imbalan atas penggunaan
hak;
9.
Sewa dan penghasilan lain sehubungan
dengan penggunaan harta;
10. Penerimaan
atau perolehan pembayaran berkala;
11. Keuntungan
karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah;
12. Keuntungan
selisih kurs mata uang asing;
13. Selisih
lebih karena penilaian kembali aktiva;
14. Premi
asuransi;
15. Iuran
yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari
Wajib pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
16. Tambahan
kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak;
17. Penghasilan
dari usaha berbasis syariah;
18. Imbalan
bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai ketentuan
umum dan tata cara perpajakan; dan
19. Surplus
Bank Indonesia.
Tidak termasuk Objek
Pajak
Yang dikecualikan dari
objek pajak adalah:
1.
Bantuan atau sumbangan, termasuk zakat
yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau
disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima zakat yang berhak,
serta harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan
lurus satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk
yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil.
2.
Warisan;
3.
Harta termasuk setoran tunai yang
diterima oleh badan sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan
modal;
4.
Penggantian atau imbalan sehubungan
dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura
dan/atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah, kecuali yang diberikan
oleh bukan Wajib Pajak, Wajib Pajak yang dikenakan pajak secara final atau Wajib Pajak yang menggunakan norma
penghitungan khusus (deemed profit);
5.
Pembayaran dari perusahaan asuransi
kepada orang Pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan,
asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa;
6.
Dividen atau bagian laba yang diterima
atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi,
badan usaha milik negara, atau badan usaha milik daerah, dari penyertaan modal
pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan
syarat:
a. Dividen
berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan
b. Bagi
perseroan terbatas, badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah yang
menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling
rendah 25% dari jumlah modal yang disetor;
7.
Iuran yang diterima dana pensiun yang
pendiriannya telah disahkan Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi
kerja maupun pegawai;
8.
Penghasilan dari modal yang ditanamkan
oleh dana pensiun, dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan
Keputusan Menteri Keuangan;
9.
Bagian laba yang diterima anggota dari
perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan,
perkumpulan, firma, dan kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak
investasi kolektif;
10. Penghasilan
yang diterima perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari badan pasangan
usaha yang didirikan dan menjalankan usaha di Indonesia, dengan syarat badan
pasangan usaha tersebut:
a. Merupakan
perusahaan mikro, kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan dalam
sektorsektor usaha yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan; dan
b. Sahamnya
tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia;
11. Beasiswa
yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan
atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
12. Sisa
lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak
dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan, yang telah
terdaftar pada instansi yang membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam
bentuk sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan
pengembangan, dalam jangka waktu paling lama 4 tahun sejak diperolehnya sisa
lebih tersebut, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan;
13. Bantuan
atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial kepada
Wajib Pajak tertentu, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
14. hadiah
langsung dalam penjualan barang atau jasa sepanjang diberikan kepada semua
pembeli atau konsumen akhir tanpa diundii dan hadiah tersebut diterima langsung
oleh konsumen akhir pada saat pembelian barang atau jasa.
Dasar
Pengenaan Pajak dan Cara Menghitung Penghasilan Pajak
Dasar Pengenaan Pajak
Wajib
Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap yang menjadi dasar pengenaan paajak
adalah Penghasilan Kena Pajak. Sedangkan Wajib Pajak luar negeri adalah
penghasilan bruto.
Besarnya
Penghasilan Kena Pajak untuk Wajib Pajak badan dihitung sebesar penghasilan
netto. Sedangkan untuk Wajib Pajak oraang pribadi dihitung sebesar penghasilan
netto dikurangi dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Secara singkat
dapaat dirimuskan sebagai berikut :
Cara Menghitung
Penghasilan Kena Pajak
1.
Menggunakan Pembukuan
2.
Menggunakan Norma Perhitungan
Penghasilan Netto.
Pembukuan
adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan
data dan informasi keuangan. Dikecualikan dari kewajiban menyelenggarakan
pembukuan tetapi wajib melakukan pencatatan adalah Wajib Pajak orang pribadi
yang melakukan kegiatan usaha.
Pencatatan
oleh Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha dan pekerjaan
bebas menliputi peredaran atau penerimaan bruto dan penerimaan penghasilan
lainnya. Sedangkan bagi mereka yang semata-mata menerima penghasilan dari luar
usaha dan pekerjaan bebas pencatatannya hanya mengenai penghasilan bruto,
pengurang, dan penghasilaan netto yang merupakan objek pajak penghasilan.
Pembukuan
harus diselenggarakan dengan memperhatikan itikad baik dan mencerminkan usahaa
yang sebenarnya, diselenggarakan di Indonesia dengn menggunkan huruf latin,
angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan disusun dalam bahasa Indonesia atau
dalam bahasa asing yang diizinkan oleh menteri keuangan.
Menghitung
Penghasilan Kena Pajak dengan Menggunakan Pembukuan
Menghitung
Penghasilan Kena Pajak dengan Menggunakan Norma Perhitungan Penghasilaan Netto
Apabila
dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak-nya Wajib Pajak menggunakan Norma
Penghitungan Penghasilan Netto, besarnya penghasilan netto adalah sama besarnya
dengan presentase Norma Perhitungan Penghasilan Netto dikalikan dengan jumlah
peredaran usaha atau penerimaan bruto pekerjaan bebas setahun.
Pedoman
untuk menentukan penghasilan netto, dibuat dan disempurnakan terus-menerus
serta diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak. Wajib Pajak yang boleh
menggunakan Norma Perhitungan Penghasilan Netto adalah Wajib Pajak orang
pribadi yang memenuhi syarat sebagai berikut :
1.
Peredaran bruto kurang dari Rp
4.800.000.000,00 per tahun
2.
Mengajukan permohonan dalam jangka waktu
3 bulan pertama dari tahun buku
3.
Menyelenggarakan pencatatan.
Contoh Perhitungan
Pajak :
Wajib pajak Pak Anto,
kawin (istri tdk bkrja) dan mempunyai 3 org anak. Ia seoarng dokter dan
memiliki indutri rotan di cirebon. Mislanya besarnya persentase norma untuk
industri rotan di cirebon 12,5% dan dokter di jakarta 45%.
Peredaran usaha
industri rotan di cirebon setahun =
Rp 400.000.000.00,-
Penerimaan bruto
seorang dokter di Jakarta setahun =
Rp 100.000.000.00,-
Penghasilan netto
dihitung sebagai berikut :
Industri
rotan : 12,% x 400.000.000.00 =
Rp 50.000.000.00
Seorang
dokter : 45% x 100.000.000.00 = Rp 45.000.000.00
Jumlah
penghasilan netto =
Rp 95.000.000.00
PTKN =
Rp 21.000.000.00
PKP =
Rp 73.000.000.00
Penghasilan
Tidak Kena Pajak
Besarnya
PTKP setahun berlaku saat ini adalah :
1.
Rp 15.840.000,00 untuk wajib pajak
pribadi
2.
Rp
1.320.000,00 tambahan wajib pajak yang kawin
3.
Rp 15.840.000,00 tambahan untuk istri
yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami
4.
Rp 1.320.000,00 tambahan untuk setiap
anggota keluarga sedarah dan keluarga dalam garis keturunan lurus serta anak
angkat yang menjadi tanggungan. (Maksimal 3 orang)
Contoh :
John, WNA, bekerja di
Indonesia tgl 1 Maret 2015, Kontrak selama 2 tahun. John sudah menikah dan
punya 3 anak. PTKP John adalah :
PTKP setahun :
WP Sendiri Rp
15.840.000,00
WP kawin Rp 1.320.000,00
3 Anak Rp 3.960.000,00
Jumlah Rp
21.120.000,00
Tarif
Pajak
1.
WP Orang Pribadi dalam negeri
Tarif Pajak yang diterapkan atas penghasilan Kena
Pajak bagi Wajib Pajak pribadi dalam negeri adalah sebagai berikut :
Lapisan Penghasilan kena Pajak
|
Tarif Pajak
|
Sampai dengan
Rp50.000.000
|
5%
|
Di atas
Rp50.000.000,00 sampai Rp250.000.000
|
15%
|
Di atas
Rp250.000.000,00 sampai Rp500.000.000
|
25%
|
Di atas Rp500.000.000
|
30%
|
*Tarif
Pajak dapt diturun menjadi paling rendah 25%.
2.
WP badan dalam negeri dan bentuk usaha
tetap
Tarif Pajak atas PTKP bagi Wajib Pajak
badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap adalah sebesar 28%. Mulai berlaku
sejak 2010 , diturunkan menjadi 25%.
WP badan dalam negeri yang berbentuk
perseroan terbukan yang paling sedikit 40% dari jumlah keseluruhan saham yang
diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.
WP badan dalam negeri dengan peredaraan bruto sampai
dengan Rp 50.000.000.000,00 mendapat pengurangan tariff sebesar 50% yang
dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan
Rp 4.800.000.000,00.
Cara
Menghitung Pajak
Contoh
:
Gunawan
pada tahun 2010 mempunyai Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp 241.850.600,00.
Besarnya Pajak Penghasilan yang harus dibayar atau terutang oleh Gunawan adalah
:
PKP =
Rp 241.850.600,00
PPh
yang harus dibayar
5% x Rp 50.000.000,00 = Rp 2.500.000,00
15% x Rp 191.850.000,00 = Rp 28.777.500,00
Jumlah =
Rp 31.277.500,00
Cara Melunasi Pajak
Wajib
Pajak dapat menghitung dan melunasi Pajak Penghaasilan melalui 2 cara, yaitu :
1.
Pelunasan Pajak Tahun Berjalan
2.
Pelunasan pajak setelah akhir tahun
Bagian 2 : Bentuk Usaha Tetap
Bentuk usaha tetap adalah bentuk
usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di
Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari
dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di
Indonesia, yang dapat berupa :
1.
Tempat
kedudukan manajemen;
2.
cabang
perusahaan;
3.
kantor
perwakilan;
4.
gedung
kantor;
5.
pabrik;
6.
Bengkel;
7.
Gudang;
8.
ruang
untuk promosi dan penjualan;
9.
pertambangan
dan penggalian sumber alam;
10. wilayah kerja pertambangan minyak
dan gas bumi;
11. perikanan, peternakan, pertanian,
perkebunan, atau kehutanan;
12. proyek konstruksi, instalasi, atau
proyek perakitan;
13. pemberian jasa dalam bentuk apapun
oleh pegawai atau oleh orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam
puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan;
14. orang atau badan yang bertindak
selaku agen yang kedudukannya tidak bebas;
15. agen atau pegawai dari perusahaan
asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang
menerima premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia;dan
16. komputer, agen elektronik, atau
peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi
elektronik untuk menjalankan kegiatan usaha melalui internet.
Contoh BUT :
Sebuah Perusahaan dari China yang memenangkan tender
pembangunan PLTU maka untuk membangun PLTU tersebut perusahaan dari China
mendirikan BUT yang akan beroperasi selama pembangunan PLTU tersebut, setelah
selesai maka BUT tersebut bubar dan mengajukan penghapusan NPWP.
Objek
Pajak Penghasilan BUT
1.
Penghasilan dari usaha atu kegiatan BUT
dan dari harta yang dimiliki atau dikuasai
2.
Penghasilan kantor pusat dari usaha atau
kegiatan yang dijalankan Badan Usaha Tetap di Indonesia.
3.
Penghasilan sebagimana tersebut dalam
PPh.
Bagian
3 : Penyusutan, Amortisasi, dan Revaluasi
Pendahuluan
Menurut
Undang-Undang Pajak Penghasilan, penyusutan, atau depresiasi merupakan konsep
alokasi harga perolehan harta tetap berwujud, dan amortisasi merupakan konsep
lokasi harga perolehan harta tetap tidak berwujud dan harta perolehan sumber
alam.
Penyusutan
Untuk
menghitung besarnya penyusutan harta tetap berwujud dibagi menjadi 2 golongan,
yaitu :
1.
Harta berwujud yang bukan berupa
bangunan
Harta berwujud yang bukan bangunan terdiri
dari harta berwujud bukan bangunan mempunyai masa manfaat 4 tahun, 8 tahun, 16
tahun, dan 20 tahun.
2.
Harta berwujud yang berupa bangunan
Harta
berwujud yang berupa bangunan dibagi 2 yaitu ; permanen, dengan manfaatnya 20 tahun, dan tidak permanen
dengan masa manfaatnya tidak lebih dari 10 tahun.
Metode dan Tarif
Penyusutan
Saat Dimulainya
Penyusutan
1.
Bulan dilakukannya pengeuaran
2.
Harta yang masih dalam pengerjaan
penyusutannya saat pengerjaan harta berjalan
3.
Bulan harta berwujud mulai digunakan.
Amortisai
Harta
tak terwujud digolongkan menjadi : kelompok harta tak terwujud yang mempunyai
masa manfaat 4 tahun, 8 tahun, 16 tahun, dan 20 tahun.
Bagian
4 : Pajak Penghasilan Pasal 21
Pajak
penghasilan yang dipungut sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang
dilakukan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi adalah pajak atas penghasilan atas
gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam
bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang
dilakukan oleh WPOP dalam negeri.
PPh
pasal 21 dipotong, disetor, dan dilaporkan oleh Pemotong Pajak, yaitu pemberi
kerja, bendaharawan pemerintah, dana pensiun, badan, perusahaan dan
penyelenggaraan kegiatan.
Wajib Pajak PPh Pasal
21
Penerima penghasilan
yang dipotong PPh Ps 21:
1.
pegawai;
2.
penerima uang pesangon, pensiun atau
uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, atau jaminan hari tua, termasuk ahli
warisnya;
3.
bukan pegawai yang menerima atau
memperoleh penghasilan sehubungan dengan pemberian jasa, meliputi:
a. tenaga
ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan,
arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris;
b. pemain
musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron,
bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain
drama, penari, pemahat, pelukis, dan seniman lainnya;
c. olahragawan;
d. penasihat,
pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
e. pengarang,
peneliti, dan penerjemah;
f. pemberi
jasa dalam segala bidang termasuk teknik, komputer dan sistem aplikasinya,
telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi dan sosial serta pemberi jasa kepada
suatu kepanitiaan;
g. agen
iklan;
h. pengawas
atau pengelola proyek;
i.
pembawa pesanan atau yang menemukan
langganan atau yang menjadi perantara;
j.
petugas penjaja barang dagangan;
k. petugas
dinas luar asuransi;
l.
distributor perusahaan multilevel
marketing atau direct selling dan kegiatan sejenis lainnya;
4.
anggota dewan komisaris atau dewan
pengawas yang tidak merangkap sebagai Pegawai Tetap pada perusahaan yang sama;
5.
mantan pegawai;
6.
peserta kegiatan yang menerima atau
memperole penghasilan sehubungan dengan keikutsertaannya dalam suatu kegiatan,
antara lain:
a. peserta
perlombaan dalam segala bidang, antara lain perlombaan olah raga, seni,
ketangkasan, ilmu pengetahuan, teknologi dan perlombaan lainnya;
b. peserta
rapat, konferensi, sidang, pertemuan, atau kunjungan kerja;
c. peserta
atau anggota dalam suatu kepanitiaan sebagai penyelenggara kegiatan tertentu;
d. peserta
pendidikan dan pelatihan;
e. peserta
kegiatan lainnya.
Tidak
Termasuk Wajib Pajak PPh Pasal 21
Tidak termasuk dalam
pengertian Penerima Penghasilan yang
Dipotong PPh pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 adalah:
a.
pejabat perwakilan diplomatik dan
konsulat atau pejabat lain dari negara asing, dan orang-orang yang
diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama
mereka, dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan di Indonesia tidak
menerima atau memperoleh penghasilan lain diluar jabatan atau pekerjaannya
tersebut, serta negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik;
b.
pejabat perwakilan organisasi
internasional, yang telah ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dengan syarat
bukan warga negara Indonesia dan tidak
menjalankan usaha untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.
Objek PPh Pasal 21
Penghasilan yang
dipotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh pasal
26 adalah:
a.
penghasilan yang diterima Pegawai Tetap
b.
penghasilan yang diterima penerima
pensiun secara teratur berupa uang pensiun atau penghasilan sejenisnya;
c.
penghasilan berupa uang pesangon, uang
manfaat pensiun, tunjangan hari tua.
d.
penghasilan Pegawai Tidak Tetap berupa
upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan yang dibayarkan secara
bulanan;
e.
imbalan kepada Bukan Pegawai dalam
bentuk apapun sebagai imbalan sehubungan jasa yang dilakukan;
f.
imbalan kepada peserta kegiatan, antara
lain berupa uang saku, uang representasi, uang rapat, honorarium, hadiah.
Bagian
5 : Pajak
Penghasilan Pasal 22
Pemungut PPh Pasal 22
Pemungut PPh Pasal 22
adalah:
a.
Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea
dan Cukai, atas impor barang;
b.
Direktoran Jenderal Pajak yang melakukan
pembayaran atas barang.
c.
Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha
Milik Daerah yang membeli barang dengan APBN atau APBD.
d.
Bank Indonesia, PT Penrusahaan Pengelola
Aset, Perum BULOG, PT Telkom, PT PLN dan Bank-bank BUMN yang membeli dengan
dana yang bersumber dari APBN dan non-APBN
e.
Badan usaha yang bergerak dalam bidang
usaha industry semen, industri kertas, industri baja, industri otomotif, dan
industri farmasi, atas penjualan hasil produksinya kepada distributor di dalam
negeri;
f.
Produsen atau importir bahan bakar
minyak, bahan bakar gas, dan pelumas, atas penjualan bahan bakar minyak, bahan
bakar gas, dan pelumas;
g.
Industri dan eksportir yang bergerak
dalam sector kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan, dan perikanan, atas
pembelian bahan-bahan dari pedagang pengumpul untuk keperluan industrinya atau
ekspornya.
h.
Wajib Pajak badan yang melakukan
penjualan barang yang mewah
Objek Pungutan PPh
Pasal 22
Besarnya pungutan PPh
Pasal 22 ditetapkan sebagai berikut:
a.
Atas impor:
b.
Atas pembelian barang yang dilakukan
oleh Direktoran Jenderal Anggaran dan yang dilakukan oleh BUMN dan BUMD.
c.
Atas penjualan bahan bakar minyak, gas,
dan pelumas oleh produsen atau importir bahan bakar minyak, gas dan pelumas.
d.
Atas penjualan hasil produksi kepada
distributor di dalam negeri oleh badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha
industri semen, industri kertas, industri baja, industri otomotif, dan industri
farmasi:
e.
Atas pembelian bahan-bahan untuk
keperluan industri atau ekspor oleh badan usaha industri atau eksportir yang
bergerak dalam sektor kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan, dan
perikanan.
f.
Penjualan barang-barang yang tergolong
mewah
Dikecualikan dari
Pemungutan PPh pasal 22
1.
Impor barang barang dan atau
penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang undangan tidak
terutang PPh
2.
Impor barang barang yang dibebaskan dari
bea masuk
3.
Dalam hal impor bersifat sementara
setelah keperluan tersebut diekspor kembali
4.
Pembayaran yang jumlahnya paling banyak
Rp1.000.000,00
5.
Pembayaran untuk pembelian bahan bakar
minyak, listrik, gas, air minum/PDAM, benda benda pos, telepon.
Cara
menghitung PPh Pasal 22
1.
Menggunakan Angka Pengenal Improtir
(API) tariff pemungutannya 2,5%
PPh
Pasal 22 = 2,5% x Nilai Improtir
|
2.
Yang Tidak Menggunakan Angka Pengenal
Improtir (API) tariff pemungutannya 7,5%
PPh Pasal 22 = 7,5% x Nilai
Improtir
|
3.
Yang tidak dikuasai, tarif pemungutannya
7,5% dari harga jual lelang
PPh
Pasal 22 = 7,5% x harga jual lelang
|
Bagian
6 : Pajak Penghasilan Pasal 23
Pajak penghasilan pasal
23 merupakan pajak penghasilan yang dipotong atas penghasilan yang diterima
atau diperoleh wajib pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap, yang berasal
dari modal, penyerahan jasa atau penyelenggaraan kegiatan selain yang telah dipotong
PPh pasal 21.
Pemotong
PPh Pasal 23
1.
Badan pemerintah
2.
Subjek pajak badan dalam negeri
3.
Penyelenggaraan kegiatan
4.
Bentuk usaha tetap
5.
Perwakilan perusahaan luar lainnya
6.
Orang pribadi yang ditunjuk oleh kepala
KPP sebagai pemotong PPh pasal 21
Tarif
dan Objek Pajak
a.
sebesar 15% dari jumlah bruto atas:
1. dividen;
2. bunga;
3. royalti;
4. hadiah,
penghargaan, bonus, dan sejenisnya selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan
Pasal 21;
b.
sebesar 2% dari jumlah bruto atas:
1. sewa
dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan
penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang telah dikenai Pajak
Penghasilan Pasal 4 ayat (2);
2. imbalan
sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan,
dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21.
Dikecualikan dari
Pemotongan PPh Pasal 23
Pemotongan pajak tidak
dilakukan atas:
a.
penghasilan yang dibayar atau terutang
kepada bank;
b.
sewa yang dibayarkan atau terutang
sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak opsi;
c.
dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal
4 ayat (3)
d.
bagian laba yang diterima atau diperoleh
anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham,
persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan
kontrak investasi kolektif
e.
sisa hasil usaha koperasi yang
dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya;
f.
penghasilan yang dibayar atau terutang
kepada badan usaha atas jasa keuangan yang berfungsi sebagai penyalur pinjaman
dan/atau pembiayaan yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Contoh :
PT “Maju” membayar
dividen kepada pemegang sahamnya senilai Rp 50.000.000,00 Jhon Bule sebagai
pemegang saham.
Hitung PPh :
a.
Jika Jhon berada di Indonesia 12 bulan
berturut-turut
b.
Jika Jhon Bule berada di Indonesia
selama 4 bulan
Pembahasan:
1a. PPh 23 = 15% x
Rp50.000.000,00 =Rp7,500.000,00
1b. PPh 26 = 20% x
Rp50.000.000,00 =Rp10.000.000,00
Bagian
7 : Pajak Penghasilan Pasal 24
Penggabungan
Penghasilan
Penggabungan
penghasilan yang berasal dari luar negeri dilakukan sebagai berikut :
1.
Penggabungan penghasilan dari usaha di
dalam tahun pajak diperolehnya penghasilan tersebut.
2.
penggabungan
penghasilan yang berupa dividen (pasal 18 ayat 2 UU No. 10/1994) dilakukan
dalam tahun pajak pada saat perolehan dividen tersebut ditetapkan sesuai dengan
keputusan Menteri Keuangan.
Batas Maksimum Kredit
Pajak
Batas maksimum kredit
pajak diambil yang terendah dari 3 unsur/atau perhitungan berikut ini:
1.
Jumlah pajak yang terutang atau dibayar
di luar negeri
2.
(Penghasilan luar negeri : seluruh
penghasilan kena pajak) x seluruh PPh (berdasarkan pasal 17)
3.
Jumlah pajak yang terutang untuk seluruh
pen ghasilan kena pajak adalah lebih kecil dari pada penghasilan luar negeri.
Bagian
8 : Pajak Penghasilan Pasal 25
Pajak
pengahsilan pasal 25 adalah angsuran pajak tahun berjalan yang harus dibayar
sendiri oleh Wajib pajak untuk setiap bulannya. Dalam hal ini termasuk pajak
yang dibayar atas Wajib pajak Orang Pribadi yang bertolak ke luar negeri.
Pembayaran
pajak dalam tahun berjalan dapat dilakukan dengan :
1.
Wajib Pajak membayar sendiri (PPh Pasal
25)
2.
Melalui pemotongan atau pemungutan oleh
pihak ketiga (PPh Pasal 21,22,23 dan 24)
Cara
Menghitung Besarnya PPh Pasal 25
1.
pajak penghasilan yang dipotong
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 23 serta pajak penghasilan yang
dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22; dan
2.
pajak penghasilan yang dibayar atau
terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
24, dibagi 12 (dua belas) atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak.
Bagian
9 : Pembayaran Pajak Penghasilan Bagi Orang Pribadi Yang Bertolak Ke Luar
Negeri
Yang
wajib membayar Pajak Penghasilan adalah orang pribadi dalam negeri yang tidak
memiliki NPWP dan telah berusia 21 tahun yang bertolak ke luar negeri, termasuk
isteri, anggota keluarga sedarah, dan keluarga dalam garis keturunan lurus
serta anak angkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya Wajib Pajak yang
bersangkutan.
Besanya
Pajak Penghasilan Bagi Orang Pribadi Yang Bertolak Ke Luar Negeri adalah :
1.
rp 2.500.000,00 untuk setiap orang yang
bertolak ke luar negeri menggunakan pesawat udara, dan
2.
rp 1.000.000,00 untuk setiap orang yang
bertolak ke luar negeri menggunakan angkutan laut.
Bagian
10 : Pajak Penghasilan pasal 26
PPh Pasal 26 adalah
pajak penghasilan yang dikenakan atas penghasilan
yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya kepada Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap
di Indonesia. Pemotongan PPh pasal 26 adalah pihak pihak yang membayarkan
penghasilan, yang terdiri atas :
1.
badan pemerintah,
2.
subyek pajak dalam negeri,
3.
penyelenggaraan kegiatan,
4.
bentuk usaha tetap,
5.
perwakilan perusahaan luar negeri
lainnya.
Bagian
11 : PPh Final Pasal 4 ayat 2 (PPh yang Bersifat Final)
1.
Objek PPh adalah Penghasilan berupa
bunga deposito dan tabungan serta diskonto Sertifikat Bank Indonesia termasuk
bunga yang diterima atau diperoleh dari deposito dan tabungan yang ditempatkan
di luar negeri melalui bank yang didirikan atau bertempat kedudukan di
Indonesia atau cabang bank luar negeri di Indonesia.
Tarif
Pajak
a.
dikenakan PPh final sebesar 20% dari
jumlah bruto, terhadap Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap;
b.
dikenakan PPh final sebesar 20% dari
jumlah bruto atau dengan tarif berdasarkan Perjanjian Penghindaran Pajak
Berganda yang berlaku, terhadap Wajib Pajak luar negeri.
Dikecualikan
dari Pemotongan PPh
a.
bunga deposito dan tabungan serta
diskonto Sertifikat Bank Indonesia, sepanjang jumlah deposito dan tabungan
serta Sertifikat Bank Indonesia tersebut tidak melebihi Rp 7.500.000,00 dan
bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah;
b.
bunga dan diskonto yang diterima atau
diperoleh bank yang didirikan di Indonesia atau cabang bank luar negeri di
Indonesia;
c.
bunga deposito dan tabungan serta
diskonto Sertifikat Bank Indonsia yang diterima atau diperoleh Dana Pensiun
yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan sepanjang dananya
diperoleh dari sumber pendapatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29
Undang-undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun, diberikan berdasarkan
Surat Keterangan Bebas (SKB) Pemotongan Pajak Penghasilan atas bunga deposito
dan tabungan serta diskonto Sertifikat Bank Indonesia, yang diterbitkan oleh
Kantor Pelayanan Pajak tempat Dana Pensiun yang bersangkutan terdaftar.
d.
bunga tabungan pada bank yang ditunjuk
Pemerintah dalam rangka pemilikan rumah sederhana dan sangat sederhana,
kaveling siap bangun untuk rumah sederhana dan sangat sederhana, atau rumah
susun sederhana sesuai dengan ketentuan yang berlaku, untuk dihuni sendiri.
e.
Orang Pribadi Subjek Pajak dalam negeri
yang seluruh penghasilannya dalam 1
tahun pajak termasuk bunga dan diskonto tidak melebihi Penghasilan Tidak Kena
Pajak.